Berlangganan

Aku Tak Berdaya Terkena Serangan Fajar Di Gunung Prau

Dulu aku bertanya, apasih enaknya naik gunung? jalan kaki, bawaan berat, dingin lagi.  Tapi pertanyaan itu terjawab ketika sudah sampai di sebuah tempat yang katanya negeri atas awan. Disanalah aku melihat ternyata masih banyak gunung lain yang harus didaki. Itulah setidaknya jawaban yang kutemukan dalam sebuah pendakian massal beberapa tahun silam. Kini setiap ada bisikan menuju ketinggian, sudah seperti jarum suntik yang siap menyayat lapisan epidermisku. Aku tak ubahnya seorang pecandu. Setelah lama tulang ini tak tertusuk udara nol derajat, sakaw kembali menyerangku. Dan akhirnya titik 2565 mdpl menjadi obat penawar candu.
 

Gunung Prau via wisatadiengplateau.com

4 Jam Membakar Hidrogen Dan Karbon

Dari depan halaman rumah, bersama tiga teman lainya kumulai memutarkan handle gas mengarungi jalan jogja magelang. Waktu itu matahari tepat berada diatas kepala. Radiasi sang surya nampaknya tak menyurutkan semangat kami. Tiga jam telah berlalu, kami tiba dikawasan penghasil carica. Di tengah perjalanan nada nada sumbang yang muncul dari dalam perut mulai terdengar. Akhirnya kami putuskan berhenti sejanak, memberi asupan karbohidrat dalam tubuh yang mulai menipis. Secangkir kafein panas terasa syahdu saat hembusan anemoi mulai membuat pori pori kulit menyempit. Tak lama kemudian kami segera bergegas melanjutkan perjalanan.

Jalan mulai berliku dan menanjak, membuat kami harus memindah gear ratio paling besar. Sayang suasana sore itu tak tergambar jelas oleh mata. Jalan raya Wonosobo-Dieng terkurung kabut bak film silent hill.  Pusat tata surya sepertinya sudah enggan memancarkan sinarnya. Di balik bukit cahaya kehidupan itu perlahan mulai menghilang. Setelah membakar hidrogen dan karbon selama 4 jam, akhirnya sampailah di pemberhentian terakhir. Pos Pendakian Gunung Prau 2565 mdpl Patak Banteng, itulah tulisan yang tertera disebuah plakat di pinggir jalan raya Dieng. Tak jauh dari plakat tersebut puluhan motor sudah berjejer rapi. Nampaknya cukup banyak para pemburu sunrise di Gunung Prau waktu itu.

Pelukan Mesra Tas Carrier, Denyut Nadi Yang Mengencang, Dan Hembusan Zeus Yang Membuat Gigil

Malam semakin menua, meski kaki sudah berbalut dua kaos kaki dan sepasang sepatu hiking masih terasa seperti menginjak bongkahan es. Dari kejauhan terlihat dua orang berjaket tebal dan memakai penutup kepala yang siap mencatat setiap pengunjung yang datang. Akupun segera mendatanginya dan memberi mahar beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Headlamp sudah terlilit dikepala dan setelah cukup lama terpisah akhirnya punggung ini kembali berpeluk mesra dengan tas carrier yang berisi tenda, logistik, rain coat, sleeping bag, dan cooking set. Kamipun siap menapaki punggung Gunung Prau.

Beberapa langkah dari basecamp, kami disambut oleh ondo sewu. Itulah nama yang tertera dalam peta yang kami bawa, puluhan anak tangga beton yang harus dilewati setiap pendaki yang melewati jalur Patak banteng. Ondo Sewu ini mengantarkan kami ke tengah tengah pematang sawah yang didominasi tumbuhan kentang. Nafas yang sedikit tersengal semakin menjadi ketika aroma pupuk tai ayam masuk dikedua lubang hidung. Ditambah lagi debu yang berterbangan setelah beberapa telapak kaki menginja-injaknya. Malam itu nampaknya cukup bersahabat, pendar indah sang rembulan berdamping dengan bintang-bintang menyemangati perjalanan kami.

Setengah jam telah berlalu kami tiba di POS I, Sikut Dewo. Kami berhenti sejanak untuk sekedar membasahi tenggorokan dengan beberapa tegukan air mineral. Jalan setapak bertlundak dan bertebu sudah menyambut kami. Tak mau berlama-lama kamipun segera melanjutkan perjalanan. Selepas dari tanjakan tersebut, jalan mulai landai. Di kanan dan kiri jalan terdapat beberapa warung yang menjual aneka makanan dan minuman. "mas mas gorenganya mas, masih hangat" celetupan si ibu penjual. Dengan anggukan kepala dan sedikit melebarkan senyum aku membalasnya, "mboten buk". Tak jauh dari situ tibalah di POS II yakni Canggal Walangan.

Jalan terus meliuk-liuk, pohon pohon pinus yang menjulang tinggi cukup kuat mencengkram tanah dari kelongsoran. Meski jalan seperti tak berujung, tapi kami masih bersemangat menggapai puncak kenikmatan. Satu setengah jam berjalan tibalah di POS III, Pos Cacingan. Keringat mulai bercucuran, namun persediaan kalori dalam tubuh masih cukup banyak sehingga kami terus berjalan. Dari pos Cacingan hingga Sunrise camp butuh waktu sekitar 30 menit. Jalan mulai terjal, bunga daisy dan bebatuan menghiasi perjalanan. Gunung Sindoro yang berdiri gagah mulai terlihat, lampu-lampu rumah perkampungan Dieng laksana kunang-kunang yang berterbangan. Setepak demi setapak kami lalui hingga tibalah disebuah tempat yang lapang dan malam itu sudah dipenuhi puluhan tenda. Kami tiba di Sunrise Camp, sebuah tempat lapang yang menjadi surganya para sunrise hunter.

Serasa tidur didalam kulkas berrrrrr

Malam yang semakin hitam mencoba terus berharmonisasi dengan satelit bumi. Jeritan, canda dan tawa yang terdengar dari segala arah menjadi pengisi suara di panggung berketinggian 2565 mdpl itu. Hembusan angin malam seolah menjadi ancaman kami untuk masuk ke alam mimpi. Akupun segera mencari sisa-sisa tanah lapang untuk mendirikan tenda. Waktu belum mencapai setengah malam, tapi kami segera masuk ke tenda karena tak kuat menahan serangan angin bersuhu rendah. Kaos, celana, baju, jaket, kaos tangan dan kaos kaki semua sudah melekat di badan, tak lupa sleeping bag menjadi lapisan paling luar. Tapi aku masih tak kuasa ketika Zeus menghembuskan udara dingin yang menusuk sumsum tulang. Mata ini hanya pura-pura terpejam, sementara seluruh badan menggigil kedinginan.


Jika Gie Selalu ke Mandalawangi, Aku Ingin Mengasingkan Diri Disini

Pagi yang dinanti telah tiba, semua orang sudah berjejer rapi menanti sambutan hangat Dewa Ra. Tepat didepan mata, Gunung Sindoro berdiri megah bersanding dengan Gunung Sumbing dibelakangnya. Sementara dari kejauan Gunung merbabu dan Merapi cukup tergambar jelas. Gunung Lawu tak mau kalah menyembulkan permukaanya dibelakang puncak Merapi. Sementara dari sisi berlawanan, Puncak Gunung Slamet yang berdiri dibalik bukit juga terlihat. Jika Gie menjadikan mandalawangi sebagai tempat pengasingan diri, rasanya tempat ini ingin selalu kujadikan pelarian dari hiruk pikuk keramaian. 
Warna merah jingga menghiasi batas cakrawala
 yang menjadi titik temu antara langit dan bumi (Doc.Pribadi)

Serangan fajar di Gunung Prau pun dimulai. Seberkas sinar mulai merambat masuk kedalam kornea. Cekrek... cekrek ...suara shutter mulai terdengar. Akupun tak mau ketinggalan mengabadikan momen momen tersebut. Warna merah jingga menghiasi batas cakrawala yang menjadi titik temu antara langit dan bumi. Siapapun pasti tersihir dengan suasana pagi itu, akupun demikian. Diatas puncak kenikmatan ini akan membuat kita sadar, bahwa kita hanyalah setitik debu dihadapan Sang Pencipta. Lantas apa yang masih bisa kau sombongkan di Dunia ini? 
Kita hanyalah setitik debu dihadapan Sang Pencipta (Doc. Pribadi)
 

Jangan Mendaki Jika Hanya Ingin Menaklukan Alam

Dan pada akhirnya kita akan sadar bahwa sesuatu yang indah, butuh perjuangan untuk menggapainya. Tapi seringkali banyak yang hanya melihat sesuatu dari hasilnya tanpa melihat proses yang dilalui. Sudah cukup puluhan korban yang meninggal sia-sia di Gunung. Sebagian besar kejadian tersebut dipicu oleh human eror. Kita memang tak pernah tau kapan ajal menjemput,  tapi jika tidak memiliki persiapan yang matang bisa saja nyawa menjadi taruhanya. Bukan bermaksud untuk menggurui, hanya mengingatkan mari kita berinteropoksi diri. Mendaki adalah soal bagaimana kita mengenal batas diri bukan bagaimana kita menaklukan alam. Tujuan mendaki bukan ke puncak gunung tapi kembali ke rumah lagi.